Laman

Senin, 25 Oktober 2010

Mesjid Al-Mahsun Medan, Semangat Sultan Deli


Salah satu daya tarik Medan adalah bangunan-bangunan bersejarahnya. Salah satunya adalah bangunan religi peninggalan Kesultanan Deli, yakni Mesjid Raya Al-Mahsun. Kesultanan Deli sendiri mulai mencapai kejayaannnya pada tahun 1861, setelah resmi merdeka dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura –meski masih dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Mesjid ini mulai dibangun pada 21 Agustus 1906. Namun baru rampung dan sekaligus dibuka pada 10 September 1909. Penguasa di Kesultanan Deli saat itu adalah Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah IX. Sultan memang sengaja membangun mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Bagi orang Medan dan sekitarnya, selain Mesjid Al-Mahsun, mesjid ini juga dikenal sebagai Mesjid Deli.
Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di dalam mesjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. Nah, di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.
Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendela lengkung itu mengingatkan disain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah mesjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Mesjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab-nya cukup indah, terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing.
Gerbang mesjid ini bergaya India, dengan bentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab. JA Tingdeman, seoarang arsitek berkebangsaan Belanda-lah yang membuat rancang-bangun mesjid ini. Biaya pembangunan masjid, yang diperkirakan mencapai satu juta gulden ditanggung sendiri oleh Sultan. Namun konon, Tjong A Fie, salah satu tokoh paling berpengaruh di Medan, yang juga terkenal dengan kekayaan, kedermawanan dan akulturasinya juga punya kontribusi mendukung pembangunan mesjid ini.
Mesjid Raya Al-Mahsun didisain menampung 1.500 jamaah. Berdekatan dengan Istana Maimun, mesjid raya ini terletak di persimpangan empat Jl. Sisingamangaraja dan Jl Mesjid Raya yang ramai. Yang membuat pemandangan menjadi kontras adalah mal dan hotel yang langsung berhadapan dengan mesjid ini di seberangnya. Namun semoga spiritnya masih tegak di atas artefak modern lainnya yang malah membuat pemandangan jadi semrawut. Seperti semangat yang ditunjukkan Sultan Deli dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar